MATARAM – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Senin 20 Maret 2023 menggelar sidang kasus dugaan korupsi dana BLUD RSUD Praya dengan agenda eksepsi atau nota keberatan.
Namun pada sidang tersebut Panasehat Hukum (PH) mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) RSUD Praya Adi Sasmita, Lalu Anton Hariawan, SH. MH menyebutkan jika surat dakwaan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada kliennya dinilai kabur dan tidak jelas.
“Banyak kejanggalan ditemukan setelah kami mencermati dan mempelajari isi dakwaan itu,” kata Lalu Anton, Selasa 21 Maret 2023.
Ia menjelaskan, sebagaimana ketentuan pasal 143 (ayat 2) KUHAP, syarat sah surat dakwaan haruslah memenuhi syarat formil dan materil. Hal itu sesuai dengan buku pedoman pembuatan surat dakwaan yang diterbitkan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, tahun 1985 halaman 14-16.
“Disana sudah jelas dirumuskan pengertiannya dengan cermat, jelas dan lengkap,” tegasnya.
Dikatakannya, setelah pihaknya membaca dan mempelajari surat dakwaan JPU, banyak hal yang dianggap mengakibatkan dakwaan harus batal demi hukum. Seperti surat dakwaan JPU yang tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap, karena penuntut umum menyusun dakwaan secara komulatif tanpa mencantumkan ketentuan pasal 65 ayat (1) dan ayat (2).
“Jika kami perhatikan dakwaan yang dibuat JPU terhadap Adi Sasmita, dr. Muzakir Langkir dan Baiq Prapningdiyah, adalah dakwaan yang karena terdakwa baik bersama-sama atau sendiri-sendiri telah melakukan beberapa perbuatan yang merupakan gabungan dari beberapa perbuatan,” jelasnya.
“Seharusnya dakwaan penuntut umum itu dijuncto-kan dengan pasal 65 KUHP. Jadi kami simpulkan yang ditunjukan kepada terdakwa adalah mengenai concursus realis (meerdaadssche samenlop) atau perbarengan beberapa perbuatan atau tindak pidana yang berbeda atau berdiri sendiri-sendiri,” tambahnya.
Dirinya juga menilai jika JPU tidak menyebutkan secara jelas, cermat dan lengkap kedudukan terdakwa Adi Sasmita di dalam surat dakwaan tersebut. Dimana dalam dakwaan itu, dia (Adi Sasmita_red) didakwa melakukan dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan pengelolaan BLUD tahun 2017-2020, sebagaimana SK Direktur RSUD Praya No 445/03/2017 tanggal 3 Januari 2017.
“Kan aneh. Disatu sisi JPU tidak mencantumkan atau tidak menguraikan secara jelas SK pengangkatan Adi Sasmita tahun 2017-2020 dalam surat dakwaan itu,” herannya.
Lebih jauh ia menyampaikan, surat dakwaan JPU tidak cermat dalam menjelaskan kualifikasi (kualitas) terdakwa berdasarkan pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dalam dakwaan pertama (primair subsider) dan kedua (pertama atau kedua).
Sebab, JPU seharusnya dapat menunjukan secara jelas dan spesifik bentuk penyertaan masing-masing pihak dalam tindak pidana, agar dibedakan bentuk-bentuk keikutsertaannya. Apakah sebagai pelaku (pleger) atau orang yang menyuruh melakukan (doenpleger), ataukah sebagai yang turut serta melakukan (medepleger).
Bahkan dalam dakwaan komulatif ketiga (pertama, kedua) terdapat perbedaan identitas pekerjaan saksi, antara dakwaan dengan BAP pemeriksaan saksi.
“Penuntut umum dalam menyusun dakwaan ketiga (pertama atau kedua) tidak memiliki dasar hukum, karena bukan merupakan obyek penyidikan sebagaimana tertuang dalam berkas perkara,” terangnya.
Oleh sebab itu, dalam dakwaan JPU perkara penyimpangan BLUD 2017-2020, sebagaimana surat perintah penyidikan yang terlampir dalam berkas A Quo, sangat tidak mungkin JPU dapat mendakwakan suatu perbutan pidana kepada terdakwa yang tidak menjadi ruang lingkup penyidikan A Quo.
Karena tempus delicti perbuatan terdakwa yang didakwakan penuntut umum didalam dakwaan komulatif ketiga tersebut dinyatakan terjadi pada suatu waktu, antara bulan Januari 2022 atau setidaknya pada waktu tertentu (masih dalam tahun 2022).
“Disisi lain, terdakwa Adi Sasmita ini sudah tidak lagi menjabat sebagai PPK di BLUD RSUD Praya,” pungkasnya. (red)